Al-I’tisham Imam Asy-Syatibi

Kata bada’a menunjukkan arti penciptaan sesuatu yang baru yang tidak ada permisalan sebelumnya, disebutkan dalam firman Allah Ta 'ah, "Allah pencipta langit dan bumi."  Hal tersebut menunjukkan bahwa Allah sebagai pencipta keduanya tanpa ada permisalan sebelumnya. Juga disebutkan dalam firman-Nya,  "Katakanlah, 'Aku bukanlah rasul yang pertama di antara rasul-rasul'."  Hal ini juga mengandung arti, "Aku bukanlah rasul pertama yang diutus dengan membawa risalah dari Allah kepada hamba-hamba-Nya, akan tetapi aku telah didahului oleh para rasul sebelumnya."


Jika dikatakan, "Si Fulan membuat perkara yang baru (bid'ah)." Maka berarti ia membuat suatu tatanan (cara) yang tidak dibuat oleh orang sebelumnya. Atau kalimat, "Ini adalah perkara yang mengagumkan." Sebuah ungkapan yang ditujukan untuk sesuatu yang paling baik, yang tidak ada yang lebih baik darinya dan seakan-akan sebelumnya pun tidak ada yang sepertinya atau yang serupa dengannya.


Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa semua perkara baru dinamakan bid'ah, mengeluarkannya untuk dijadikan tingkah laku (perbuatan) yang bersandar padanya dinamakan perbuatan bid'ah, dan bentuk dari perbuatan tersebut dinamakan bid'ah. Bahkan keilmuan yang dibentuk dari teori dan sisi tersebut dinamakan bid'ah. Jadi, semua pekerjaan yang tidak mempunyai dalil syar'i dinamakan bid'ah (ungkapan yang lebih khusus dari arti yang sebenamya secara bahasa).

 

Telah ditetapkan dalam ilmu ushul bahwa semua hukum yang berkaitan dengan perbuatan dan perkataan seorang hamba terbagi menjadi tiga bagian, yaitu:

  1. Hukum yang mengandung arti perintah, yaitu untuk perkara yang wajib atau sunah.
  2. Hukum yang mengandung arti larangan, yaitu untuk perkara yang dibenci atau diharamkan.
  3. Hukum yang mengandung arti pilihan, yaitu untuk perkara yang mubah.

Semua perbuatan dan perkataan seorang hamba tidak terlepas dari tiga bagian berikut ini:

  1. Diharuskan untuk mengerjakannya
  2. Diharuskan untuk meninggalkannya.
  3. Diperbolehkan untuk mengerjakan atau meninggalkannya.

Bagian yang diharuskan untuk untuk meninggalkannya disebabkan oleh pertentangan bagian tersebut terhadap dua bagian lainnya, yang terbagi menjadi dua bagian:

  1. Diharuskan meninggalkannya dan dilarang untuk mengerjakannya karena ada penyimpangan yang khusus, disertai pertimbangan selain hal-hal tersebut, yaitu apabila  suatu perkara diharamkan maka perbuatan tersebut dinamakan maksiat dan perbuatan dosa, sedangkan pelakunya dinamakan orang yang bermaksiat dan berdosa. Namun jika tidak maka tidak disebut dengan nama tersebut serta masuk dalam kategori hukum pengampunan. Suatu perbuatan tidak dihukumi boleh atau mubah kecuah ada penggabungan antara perkara yang dibolehkan dan perkara yang dilarang, atau dengan kata lain bahwa hal itu adalah penggabungan antara dua perkara yang berlawanan.
  2. Diharuskan meninggalkannya dan dilarang untuk mengerjakannya karena ada penyimpangan hukum-hukum syariat yang jelas [zhahir nash), baik dari sisi penetapan batasan, penentuan tata cara pelaksanaan, maupun keharusan untuk berpegang teguh pada kondisi tertentu atau waktu tertentu  yang disertai dengan tindakan mudawamah (terus-menerus). Inilah yang disebut perbuatan bid'ah dan inilah arti bid'ah itu sendiri. Jadi, orang yang mengerjakannya disebut mubtadi'(orang yang melakukan bid'ah).

imageSelengkapnya ebook Al I’tisham yang membahas tenteng bid’ah dari mulai pengertian, asal-usul sampai kepada akibat dari perbuatan bid’ah, dapat didownload di sini.

comment 0 komentar:

Post a Comment

Delete this element to display blogger navbar

 
© 2010 Perpustakaan Pribadi is proudly powered by Blogger